mungkin kita udah jarang liat2 rumah2 adat, ane cuma mw share, kalo repost and salah ane minta maaf ya
1. Provinsi DI Aceh / Nanggro Aceh Darussalam / NAD
Rumah Adat Tradisional : Rumoh aceh
2. Provinsi Sumatera Utara / Sumut
Rumah Adat Tradisional : Rumah balai batak toba
3. Provinsi Sumatera Barat / Sumbar
Rumah Adat Tradisional : Rumah gadang
4. Provinsi Riau
Rumah Adat Tradisional : Rumah melayu selaso jatuh kembar
5. Provinsi Jambi
Rumah Adat Tradisional : Rumah panggung
6. Provinsi Sumatera Selatan / Sumsel
Rumah Adat Tradisional : Rumah limas
7. Provinsi Lampung
Rumah Adat Tradisional : Nuwo sesat
8. Provinsi Bengkulu
Rumah Adat Tradisional : Rumah bubungan lima
9. Provinsi DKI Jakarta
Rumah Adat Tradisional : Rumah kebaya
10. Provinsi Jawa Barat / Jabar
Rumah Adat Tradisional : Kesepuhan
11. Provinsi Jawa Tengah / DI Yogyakarta / Jawa Timur
Rumah Adat Tradisional : Rumah joglo
12. Provinsi Bali
Rumah Adat Tradisional : Gapura candi bentar
13. Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB
Rumah Adat Tradisional : Dalam loka samawa
14. Provinsi Nusa Tenggara Timur / NTT
Rumah Adat Tradisional : Sao ata mosa lakitana
15. Provinsi Kalimantan Barat / Kalbar
Rumah Adat Tradisional : Rumah panjang
16. Provinsi Kalimantan Tengah / Kalteng
Rumah Adat Tradisional : Rumah betang
17. Provinsi Kalimantan Selatan / Kalsel
Rumah Adat Tradisional : Rumah banjar
18. Provinsi Kalimantan Timur / Kaltim
Rumah Adat Tradisional : Rumah lamin
19. Provinsi Sulawesi Utara / Sulut
Rumah Adat Tradisional : Rumah bolaang mongondow
20. Provinsi Sulawesi Tengah / Sulteng
Rumah Adat Tradisional : Souraja / Rumah besar
21. Provinsi Sulawesi Tenggara / Sultra
Rumah Adat Tradisional : Laikas
22. Provinsi Sulawesi Selatan / Sulsel
Rumah Adat Tradisional : Tongkonan
23. Provinsi Maluku
Rumah Adat Tradisional : Baileo
24. Provinsi Irian Jaya / Papua
Rumah Adat Tradisional : Rumah honai
sumber :http://www.forumkami.net/cafe/13741-kumpulan-rumah-adat-indonesia.html
Kamis, 20 Oktober 2011
SENI DAN BUDAYA UNTUK BERANI MENJADI INDONESIA
SEBELUM MEMBACA, ADA BAIKNYA JIKA ANDA TIDAK MENILAINYA DARI SEGI SUBJEKTIF
(Jangan membenci dan Jangan Menyenangi, NETRALKAN DIRI ANDA TERLEBIH DAHULU).
MARI KITA BERDISKUSI. SILAHKAN BERARGUMEN MENURUT KEYAKINAN DAN PENGERTIAN ANDA.
SEBELUM ANDA MEMBANTAH TULISAN INI, ADA BAIKNYA JIKA ANDA MENBACANYA DARI AWAL HINGGA AKHIR DAN BENAR-BENAR MEMAHAMINYA.
MARI KITA MULAI…..
BUDAYA. Menarik sekali ketika kita mendengar kata tersebut, kadang kata tersebut menggetarkan hati kita ketika diucapkan. Bahkan “Budaya” telah kita anggap sebagai sesuatu yang “Sakral” untuk selalu kita jaga, kita lindungi, dan kita lestarikan. Bahkan kita (mungkin) beribu-ribu kali mengucapkan kalimat “Kita sebagai Insan Seni, harus menjunjung tinggi dan selalu melestarikan Budaya”. Dan saya-pun sebagai salah satu anggota dari komunitas seni mengakuinya sering mengucapkan kalimat “Mujarab” tersebut.
Sangking seringnya mengucapkan kalimat “mujarab” tersebut, dalam hati saya muncul pertanyaan, “Apa itu “Budaya”(dalam tanda kutip), dan kenapa aku harus menjaga dan melestarikannya”? Lalu timbul lagi pertanyaan dalam diri saya “Kenapa saya sebagai insan seni yang tergabung dalam komunitas seni harus melestarikan Budaya, apakah ada hubungan yang khusus antara Budaya dan Seni itu sendiri”?
Lalu, Apa sih yang dimaksud dengan BUDAYA itu? BUDAYA menurut saya (Saya tidak peduli dengan teori yang di tulis dalam buku dan digembar-gemborkan oleh dosen di bangku kuliah/Sekolah), “tidak selalu” berupa karya seni, keindahan, kebaikan, atau apapun itu yang menurut ilmu-ilmu yang diberikan di bangku pendidikan merupakan suatu kebiasaan “baik” yang di-amien-i oleh banyak orang. Tapi menurut saya, “BUDAYA Adalah suatu kebiasaan (Baik atau-pun Buruk) yang dilakukan oleh sekelompok orang dan dilakukan secara turun-temurun. Entah itu kebiasaan ngopi, kebiasaan malas, kebiasaan rajin, kebiasaan plagiat, kebiasaan bekerja keras, kebiasaan santai, kebiasaan korup, kebiasaan judi, kebisaan glamour, bahkan menurut saya mandi pun merupakan sebuah kebudayaan. (Jangankan Mandi, cara-cara buang air besar-pun merupakan sebuah kebudayaan).
Oke untuk memperkuat teori tersebut di atas, Memang benar jika Budaya itu adalah suatu kebiasaan yang di anggap baik atau diterima oleh orang banyak, tapi tidak menutup kemungkinan kebiasaan itu juga dianggap jelek bagi sekelompok orang lain. Kita ambil contoh “Judi”. Di Indonesia “Judi” dikatakan sebagai “Kebiasaan Buruk” (Oleh Peraturan Perundang-Undangan), yang sebenarnya dianggap baik juga oleh tidak sedikit Penduduk kita. Tapi bagaimana dengan di Negara Asing, Apakah di Las Vegas atau Singapore Kebiasaan Berjudi adalah Kebiasaan yang Buruk…?! Saya rasa Tidak demikian… Percayalah, cara-cara buang air (dari ketika kebelet sampai cebok) di setiap Negara itu berbeda-beda. Misal: Orang Indonesia Cebok pake air, sedangkan orang Amerika cebok pake Tisu toilet. Hehe…
(Ada yang tidak setuju dengan teori atau argument ini dengan dalil teori dari buku terkenal atau menurut dosen Sistem Sosial Budaya tidak seperti itu, atau mempunyai dalil tersendiri? SILAHKAN, toh orang-orang yang terkenal karena suatu teori juga berdalih bukan berdasar dari teori orang lain, lalu kenapa kita tidak boleh berteori sendiri...hehehe)
Maksud saya di sini adalah “Budaya” itu bukan selalu karya seni atau seni. Budaya ya budaya, sedangkan Seni ya seni. Saya yakin dari sini mungkin ada yang setuju atau tidak dengan pernyataan ini. Mungkin ada yang bilang “Siapa yang mencampur-adukkan antara Budaya dan Seni? Aku tidak merasa mencampur adukkan kok”. Jawaban Saya, BAGUS kalau anda berfikiran seperti itu.
Nah, permasalahannya di sini: “Kita sebagai insan seni kenapa mengharuskan kita untuk menjunjung tinggi budaya dengan salam pembeda (Saya katakana sebagai salam pembeda, mungkin karena alasan kita memakai salam tersebut hanya untuk membedakan kita dari komunitas yang lain), yaitu “SALAM BUDAYA” kenapa bukan “SALAM SENI” atau jika dirasa kurang asyik kita gunakan aja “SALAM KREATIFITAS”, atau apa saja lah yang jelas berhubungan langsung dengan Seni”? Lalu Budaya yang seperti apa yang kita usung dalam salam tersebut, yang jelas Budaya yang baik-baik ya? Lalu kenapa tidak “SALAM BUDAYA YANG BAIK-BAIK”, mungkin alasannya terlalu kepanjangan ya”? hehehehe, jangan terlalu sepaneng, mari kita tertawa..
Oke kita kesampingkan dulu “pencampur-adukan” tersebut. Mari kita coba membahas “SENI atau KESENIAN”. Jika kita berbicara tentang seni, waw luar biasa kedengarannya. Sesuatu yang megah, artistik, mahakarya, keindahan, luapan jiwa, ekspresi, atau apapun itu yang jelas, terdengar sangat ekslusif dan hmmmmmm…. tidak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata sangking indahnya. Ada sebagian yang mengatakan seni adalah sebuah hasta dan karya manusia yang mewakili dari luapan ekspresi seseorang atau seniman tersebut dan ditunjukkan dalam keindahan berupa, lukisan, tarian, syair, puisi, teater atau apapun itu yang berupa keindahan yang byuh byuh byuh pokoknya.
Ooooh, saya sedikit mengerti sekarang kenapa “Seni” dikawinkan dengan “budaya”. Mungkin para budayawan kita mengharapkan Kita sebagai manusia yang memiliki bangsa dan Negara dalam mengekspresikan seni, kita tidak boleh keluar dari jalur-jalur kebudayaan bangsa kita, dengan tujuan agar Moral Kita tidak Rusak karena Budaya-budaya Asing yang masuk. Kalau memang benar begitu, maka saya menyimpulkan bahwa “Kita” sebagai insan seni harusnya menjaga nilai-nilai budaya leluhur kita yaitu “KEPRIBADIAN TIMUR, atau dalam bahasa Jawa-nya “KAPRIBADEN KATIMRUAN”.
Waw, hebat sekali para budayawan kita memang. Saya sangat setuju kalau seperti itu kayaknya. Saya menyadari akhirnya betapa pentingnya menjaga kebudayaan agar tidak terkontaminasi oleh kebudayaan-kebudayaan yang buruk dan dapat merusak moral bangsa kita tercinta Bangsa Indonesia, seperti misalnya Budaya Judi, Korupsi, atau apapun itu yang bisa merusak keorisinilan Bangsa kita. Kenapa lewat seni? Karena dengan Seni kita mudah menyampaikan, dan bisa lebih mudah diterima oleh banyak orang, Dan juga Seni merupakan sebuah gambaran atau perwujudan dari kebudayaan yang dialami, diresapi, dirasakan dan atau di saksikan oleh si Seniman tersebut. Tapi sekali lagi benarkah seperti itu eksekusi-nya?
Mari Kita sejenak meninggalkan “Idealisme” kita yang “Semu”. Kenapa saya katakan idealisme kita adalah idealisme yang semu? Maksud saya begini, Oke kita sepakat dalam berkesenian harus menjaga dan tidak boleh keluar dari jalur-jalur Kebudayaan Leluhur kita Bangsa Indonesia. Lalu eksekusinya bagaimana? Apakah benar kita menjalankan “Idealisme” kita tersebut pada jalur yang telah kita yakini itu? Yakin sudah menjaga ekspresi seni kita dalam jalur kebudayaan yang telah kita amien-ni tersebut?
Lalu apa saja sih Kebudayaan Bangsa Indonesia itu? (kali ini saya benar-benar bertanya, saya sendiri kurang tau, dan jika anda tidak mau menjawabnya-pun saya masih tetap akan mencari jawaban itu). Yang saya tau, yang jelas Budaya Bangsa Indonesia kita Tercinta ini bukanlah Rasta, bukan Urban Culture, bukan Budaya sok Imut dan Manjanya Korea (paling kelihatan kalau sedang foto), bukan pula Budaya Industrial, atau-pun Budaya Harajuku… ada lagi yang mau menambahkan, silahkan…
Alah tidak usah munafik, lha wong saya sendiri juga pernah gandrung juga kok dengan budaya asing tersebut, santai saja tidak usah merasa bersalah, kita masih punya waktu kok untuk membangkitkan kembali Nilai-nilai Kebudayaan yang diwariskan Leluhur Kita Bangsa Indonesia. Yang penting adalah semangat, kemauan dan eksekusi kita untuk menjalankan Idealisme kita tersebut agar tidak menjadi Semu.
Nah benar sekali, saya juga tergolong “munafik” karena pernah “gandrung” juga dengan budaya-budaya asing tersebut. Tidak masalah kita sekedar menggandrungi Budaya asing, dengan catatan Kita juga harus Menjunjung Tinggi Budaya Katimuran Kita dan harus selalu menjaganya. Yang jelas, hanya dengan “MENJAGANYA SAJA TIDAK CUKUP”, tapi kita juga perlu untuk “MEMPERJUANGKANNYA”. Maka dari sini, mari kita ubah kata “Gandrung” tersebut menjadi “Menghargai” Saja. Dan tidak masalah kita pernah munafik, yang terpenting adalah tindakan kita selanjutnya Apa....
Keuntungannya Apa? Dengan Menjaga dan Memperjuangkan Kebudayaan Tanah Air kita, maka apa yang akan kita perjuangkan ini “Juga” akan “DIHARGAI” bahkan “DIGANDRUNGI” Oleh Bangsa Asing.
Tidak masalah jika kita merasa “MUNAFIK”, itu berarti jiwa, semangat, dan keyakinan kita untuk bangkit sedang “BEREAKSI”. Tidak Masalah bagaimana-pun kita di masa lalu. Intinya, “TIDAK PENTING POSISI KITA DI MASA LALU DI MANA ATAU SEPERTI APA, TAPI YANG TERPENTING ADALAH POSISI APA YANG AKAN KITA AMBIL MULAI DETIK INI,LANGKAH APA YANG HARUS KITA AMBIL MULAI DETIK INI, DAN BAGAIMANA EKSEKUSIYANG HARUS KITA LAKUKAN”.
Hehehe, silahkan menertawakan tulisan ini, atau mungkin menghina dengan celaan “Sok Idealis, Metaok (Sok Pinter), Metuwek (Sok Dewasa/ Sok Bijak), atau Cuma sedikit bergumam sambil bilang “woeess wat megawat Arie Ardhana al Kepet bin Obrek iki.” SILAHKAN apa-pun itu akan Saya Terima.
Saya hanya ingin menantang anda untuk “BERANI MENJADI INDONESIA”.
Seni rupa terapan
Seni rupa terapan adalah hasil karya seni rupa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan mempunyai fungsi atau manfaat. Fungsi karya seni rupa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi estetis dan fungsi praktis. Fungsi estetis adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia tentang rasa keindahan. Misalnya lukisan, patung,dan benda hias. Fungsi praktis adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia akan benda pakai. Misalnya vas bunga, kursi ukir, dan bingkai foto.
Selain itu kaya seni rupa terapan juga dibedakan menjadi 3, yaitu hasil karya ukiran, hasil karya patung, dan hasil karya batik.
- Menurut hasil karya ukiran, contoh benda-bendanya adalah ukiran kayu dari Jepara dan ukiran kayu dari Bali.
- Menurut hasil karya patung, contoh benda-bendanya adalah patung kayu dari suku Asmat, patung batu Pangeran Diponegoro, dan Patung kayu dari Bali.
- Menurut hasil karya batik, contoh benda-bendanya adalah baju, sprei, kain, gorden, dll .
Artikel bertopik seni atau biografi seniman ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya. sumber: |
Peninggalan-Peninggalan Sejarah Bercorak Islam
Islam tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Bukti keberadaan Islam itu dapat dilihat bukan saja dari para pemeluknya yang memiliki pengikut paling besar di Indonesia.
Bukti historis dan arkeologis juga mendukung keberadaan Islam di Indonesia.
Bukti historis dan arkeologis dapat dilihat pada budaya dan tradisi yang telah lama hidup dan berkembang pada masyarakat.
Peninggalan Islam yang dapat kita saksikan hari ini merupakan perpaduan antara kebudayaan Islam dan kebudayaan setempat. Hasil-hasil kebudayaan yang bercorak Islam dapat kita temukan antara lain dalam bentuk bangunan (masjid, makam) dan seni.
a. Peninggalan dalam Bentuk Bangunan
Bangunan yang menjadi ciri khas Islam antara lain ialah masjid, istana/keraton, dan makam (nisan).
1) Masjid
Masjid merupakan tempat salat umat Islam. Masjid tersebar di berbagai daerah.
Namun, biasanya masjid didirikan pada tepi barat alun-alun dekat istana. Alun-alun adalah tempat bertemunya rakyat dan rajanya. Masjid merupakan tempat bersatunya rakyat dan rajanya sebagai sesama mahkluk Illahi dengan Tuhan. Raja akan bertindak sebagai imam dalam memimpin salat.
Bentuk dan ukuran masjid bermacam-macam. Namun, yang merupakan ciri khas sebuah masjid ialah atap (kubahnya). Masjid di Indonesia umumnya atap yang bersusun, makin ke atas makin kecil, dan tingkatan yang paling atas biasanya berbentuk limas.
Jumlah atapnya selalu ganjil. Bentuk ini mengingatkan kita pada bentuk atap candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun serta puncak stupa yang adakalanya berbentuk susunan payung-payung yang terbuka. Dengan demikian, masjid dengan
bentuk seperti ini mendapat pengaruh dari Hindu-Buddha.
Beberapa di antara masjid-masjid khas Indonesia memiliki menara, tempat muadzin menyuarakan adzan dan memukul bedug. Contohnya menara Masjid Kudus yang memiliki bentuk dan struktur bangunan yang mirip dengan bale kul-kul di Pura Taman Ayun. Kul-kul memiliki fungsi yang sama dengan menara, yakni memberi informasi atau tanda kepada masyarakat mengenai berbagai hal berkaitan dengan kegiatan suci atau yang lain dengan dipukulnya kul-kul dengan irama tertentu.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk masjid, dapat kita lihat antara lain pada beberapa masjid berikut.
(1) Masjid Banten (bangun beratap tumpang)
(2) Masjid Demak (dibangun para wali)
(3) Masjid Kudus (memiliki menara yang bangun dasarnya serupa meru)
(4) Masjid Keraton Surakarta, Yogyakarta, Cirebon (beratap tumpang)
(5) Masjid Agung Pondok Tinggi (beratap tumpang)
(6) Masjid tua di Kotawaringin, Kalimantan Tengah (dibangun ulama penyebar siar pertama di Kalteng)
(7) Masjid Raya Aceh, Masjid Raya Deli (dibangun zaman Sultan Iskandar Muda)
2) Makam dan Nisan
Makam memiliki daya tarik tersendiri karena merupakan hasil kebudayaan. Makam biasanya memiliki batu nisan. Di samping kebesaran nama orang yang dikebumikan pada makam tersebut, biasanya batu nisannya pun memiliki nilai budaya tinggi. Makam yang terkenal antara lain makam para anggota Walisongo dan makam raja-raja.
Pada makam orang-orang penting atau terhormat didirikan sebuah rumah yang disebut cungkup atau kubah dalam bentuk yang sangat indah dan megah. Misalnya, makam Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan sunan-sunan besar yang lain.
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk makam dapat kita lihat antara lain pada beberapa makam berikut.
(1) Makam Sunan Langkat (di halaman dalam masjid Azisi, Langkat)
(2) Makam Walisongo
(3) Makam Imogiri (Yogyakarta)
(4) Makam Raja Gowa
Peninggalan sejarah Islam dalam bentuk nisan dapat kita lihat antara lain pada beberapa nisan berikut.
(1) Di Leran, Gresik (Jawa timur) terdapat batu nisan bertuliskan bahasa dan huruf Arab, yang memuat keterangan tentang meninggalnya seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 475 Hijriah (1082 M);
(2) Di Sumatra (di pantai timur laut Aceh utara) ditemukan batu nisan Sultan Malik alsaleh yang berangka tahun 696 Hijriah (!297 M);
(3) Di Sulawesi Selatan, ditemukan batu nisan Sultan Hasanuddin;
(4) Di Banjarmasin, ditemukan batu nisan Sultan Suryana Syah; dan
(5) Batu nisan di Troloyo dan Trowulan.
b. Peninggalan dalam Bentuk Karya Seni
Peninggalan Islam dapat juga kita temui dalam bentuk karya seni seperti seni ukir, seni pahat, seni pertunjukan, seni lukis, dan seni sastra. Seni ukir dan seni pahat ini dapat dijumpai pada masjid-masjid di Jepara. Seni pertunjukan berupa rebana dan tarian, misalnya tarian Seudati. Pada seni aksara, terdapat tulisan berupa huruf arab-melayu, yaitu tulisan arab yang tidak memakai tanda (harakat, biasa disebut arab gundul).
Salah satu peninggalan Islam yang cukup menarik dalam seni tulis ialah kaligrafi.
Kaligrafi adalah menggambar dengan menggunakan huruf-huruf arab. Kaligrafi dapat ditemukan pada makam Malik As-Saleh dari Samudra Pasai.
Karya sastra yang dihasilkan cukup beragam. Para seniman muslim menghasilkan beberapa karya sastra antara lain berupa syair, hikayat, suluk, babad, dan kitab-kitab.
Syair banyak dihasilkan oleh penyair Islam, Hamzah Fansuri. Karyanya yang terkenal adalah Syair Dagang, Syair Perahu, Syair Si Burung Pangi, dan Syair Si Dang Fakir.
Syair-syair sejarah peninggalan Islam antara lain Syair Kompeni Walanda, Syair Perang Banjarmasin, dan Syair Himop. Syair-syair fiksi antara lain Syair Ikan Terumbuk dan Syair Ken Tambunan.
Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita atau dongeng yang sering dikaitkan dengan tokoh sejarah. Peninggalan Islam berupa hikayat antara lain, Hikayat Raja Raja Pasai, Hikayat Si Miskin (Hikayat Marakarma), Hikayat Bayan Budiman, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Hang Tuah, dan Hikayat Jauhar Manikam.
Suluk adalah kitab-kitab yang berisi ajaran-ajaran tasawuf. Peninggalan Islam berupa suluk antara lain Suluk Wujil, Suluk Sunan Bonang, Suluk Sukarsa, Suluk Syarab al Asyiqin, dan Suluk Malang Sumirang.
Babad adalah cerita sejarah tetapi banyak bercampur dengan mitos dan kepercayaan masyarakat yang kadang tidak masuk akal. Peninggalan Islam berupa babad antara lain Babad Tanah Jawi, Babad Sejarah Melayu (Salawat Ussalatin), Babad Raja-Raja Riau, Babad Demak, Babad Cirebon, Babad Gianti.
Adapun kitab-kitab peninggalan Islam antara lain Kitab Manik Maya, Us-Salatin Kitab Sasana-Sunu, Kitab Nitisastra, Kitab Nitisruti, serta Sastra Gending karya Sultan Agung.
Dari : http://www.afand.cybermq.com/post/detail/2259/peninggalan-peninggalan-sejarah-bercorak-islam
peninggalan budaya indonesia
| |||
|
Candi Prambanan, peninggalan budaya bangsa
Candi Prambanan, peninggalan budaya bangsa
Candi Prambanan
Pada artikel ini saya akan mencoba menulis tentang peninggalan kebudayaan atau warisan bangsa yakni Candi Prambanan yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, meski Candi Prambanan ini telah mengalami beberapa kali pemugaran. Sebenarnya perjalanan ke Candi Prambanan ini telah saya lakukan kira-kira sekitar 3 tahun yang lalu, karena sampai sekarang belum ada kesempatan lagi untuk berkunjung ke sana kembali. Tulisan ini sendiri sesungguhnya untuk memenuhi tugas softskill yang diberikan dari pihak kampus pada semester yang sedang saya jalani sekarang saat ini dan saya memilih judul “Candi, peninggalan budaya bangsa” karena yang terlintas saat ini dan menuju deadline untuk membuat tulisan adalah mengenai kebudayaan candi.
Candi Prambanan terletak di antara 2 kabupaten dan 2 provinsi di Pulau Jawa, lebih tepatnya berada di tengah-tengah Kabupaten Sleman (Provinsi Yogyakarta) dan Kabupaten Klaten (Provinsi Jawa Tengah), letak Candi Prambanan ini tidak jauh dari desa tempat saya tinggal, yaitu Klaten. Kira-kira hanya 30 menit perjalanan dari tempat saya menuju lokasi Candi Prambanan menggunakan kendaraan bermotor. Dan setelah memasuki gerbang atau pintu utama, anda akan disuguhi berbagai kerajinan tangan dan cinderamata khas kota Yogyakarta, hal semacam ini juga terdapat ketika anda ingin keluar dari Candi Prambanan.
Terakhir kali ketika saya mengunjungi Candi Prambanan saat itu sudah jauh berbeda, candi ini telah mengalami pemugaran untuk kesekian kalinya dan harus dipagari setelah terjadi peristiwa gempa bumi yang telah melanda kota Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2006, akibatnya beberapa batu-batu candi harus diperbaiki dan diperkokoh kembali serta masih terdapatnya tiang-tiang penyangga pada sekeliling candi. Saat itu saya hanya bisa melihat dari luar pagar saja dan memutari kompleks candi serta tidak dapat masuk ke tengah-tengah wilayah candi, apalagi untuk masuk ke dalam candi untuk melihat bentuk candi dari sisi dalam.
Candi Prambanan
Karena sebelum adanya kejadian gempa bumi yang melanda kota D.I Yogyakarta dan berdampak buruk bagi bangunan Candi Prambanan itu sendiri, orang-orang yang berkunjung masih dapat melihat bagian dalam dan diperbolehkan untuk menaiki tangga candi, bahkan dapat mengabadikan gambar tepat di perundak-undakan candi. Kini beberapa meter dari batas pagar yang membatasi Candi Prambanan dibangun panggung untuk tempat mengambil objek foto, jadi setiap orang dapat bergantian naik ke atas panggung (dengan jumlah batas maksimal sekitar 25 orang) yang ingin mengabadikan gambar keseluruhan candi. Contoh panggung tersebut dapat dilihat pada foto di atas, meski hanya kelihatan kecil, maklum saat itu saya mengambil gambar dari jarak yang lumayan jauh, maksud hati ingin mendapatkan objek secara keseluruhan.
Candi Prambanan dikenal juga oleh masyarakat setempat dengan nama Candi Roro Jonggrang, nama tersebut diambil dari cerita rakyat mengenai Bandung Bondowoso yang ingin mempersunting sang dewi, dengan syarat untuk membangun seribu candi dalam waktu hanya satu malam. Bandung Bondowoso sendiri hampir saja menyanggupi permintaan sang putri tersebut, karena Bandung Bondowoso mengerjakannya dengan bantuan para makhluk halus. Namun ketika tinggal satu candi yang belum jadi, Roro Jonggrang dengan kecerdikannya dan bantuan dari perempuan-perempuan desa untuk bekerja menumbuk padi, sehingga para makhluk halus bantuan dari Bandung Bondowoso pun pergi karena mengira hari sudah pagi.
Karena kesal dengan perbuatan sang putri, Bandung Bondowoso pun mengutuk Roro Jonggrang menjadi pelengkap candi yang keseribu atau kadang dikenal dengan istilah Candi Sewu. Maaf, jika ada kesalahan bercerita, karena kisah yang saya ceriterakan dari sudut pandang saya dan dari informasi dari orang-orang terdekat. Dan pada komplek Candi Prambanan ini terdapat tiga candi besar, yaitu Candi Siwa (yang paling besar), Candi Brahma, dan Candi Wisnu serta menjadi lambang tempat upacara agama Hindu.
Candi Prambanan sudah menjadi situs warisan dunia yang diakui oleh UNESCO pada tahun 1991. Kini kita sebagai masyarakat biasa hanya bisa menjaga kelestarian Candi Prambanan ini serta candi-candi yang lainnya agar tetap awet dan terjaga, dengan cara tidak merusak bangunan-bangunan atau arca dan tidak mencurinya serta dengan cara mengingat sejarah yang terjadi di dalamnya. Karena kini banyak pemuda-pemudi yang lupa akan sejarah dan peninggalan-peninggalan budaya bangsa, mengingat kutipan dari presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno, “Jas merah : jangan lupakan sejarah”
Rabu, 19 Oktober 2011
Macam-macam alat musik tradisional indonesia
1 Gamelan, okestranya orang jawa ....
Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama. Pagelaran musik gamelan kini bisa dinikmati di berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa menikmati versi aslinya.
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.
2.Kecapi
Kacapi merupakan alat musik petik yang berasal dari Jawa Barat, biasa digunakan sebagai pengiring suling sunda atau dalam musik lengkap, sampai saat ini masih terus dilestarikan dan dijadikan kekayaan seni Sunda yang sangat bernilai bagi masyarakat asli Jawa Barat.
Membutuhkan latihan khusus untuk dapat memainkan alat musik ini dengan penuh penghayatan, tak jarang latihan dilakukan di alam terbuka agar dapat menyatukan rasa dan jiwa sang pemetik Kacapi, lebih dari itu semua suara yang dihasilkan dari alat musik ini akan menenangkan jiwa para pendengarnya, dan mampu membawa suasana alam Pasundan di tengah-tengah pendengar yang mulai terhanyut dengan buaian nada-nada yang indah dari Kacapi.
3 Angklung.
Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
4 Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dariangklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.
5 Saron
Saron (atau disebut juga ricik) adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan.
Dalam satu set gamelan biasanya punya 4 saron, dan kesemuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu.
Gamelan jelas bukan musik yang asing. Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama. Pagelaran musik gamelan kini bisa dinikmati di berbagai belahan dunia, namun Yogyakarta adalah tempat yang paling tepat untuk menikmati gamelan karena di kota inilah anda bisa menikmati versi aslinya.
Gamelan yang berkembang di Yogyakarta adalah Gamelan Jawa, sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar, karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah munculnya gamelan. Perkembangan musik gamelan diperkirakan sejak kemunculan kentongan, rebab, tepukan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis hingga dikenalnya alat musik dari logam. Perkembangan selanjutnya setelah dinamai gamelan, musik ini dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang, dan tarian. Barulah pada beberapa waktu sesudahnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama gending.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Anda bisa melihat gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak. Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis.
Salah satu tempat di Yogyakarta dimana anda bisa melihat pertunjukan gamelan adalah Kraton Yogyakarta. Pada hari Kamis pukul 10.00 - 12.00 WIB digelar gamelan sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri. Hari Sabtu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring wayang kulit, sementara hari Minggu pada waktu yang sama digelar musik gamelan sebagai pengiring tari tradisional Jawa. Untuk melihat pertunjukannya, anda bisa menuju Bangsal Sri Maganti. Sementara untuk melihat perangkat gamelan tua, anda bisa menuju bangsal kraton lain yang terletak lebih ke belakang.
2.Kecapi
Kacapi merupakan alat musik petik yang berasal dari Jawa Barat, biasa digunakan sebagai pengiring suling sunda atau dalam musik lengkap, sampai saat ini masih terus dilestarikan dan dijadikan kekayaan seni Sunda yang sangat bernilai bagi masyarakat asli Jawa Barat.
Membutuhkan latihan khusus untuk dapat memainkan alat musik ini dengan penuh penghayatan, tak jarang latihan dilakukan di alam terbuka agar dapat menyatukan rasa dan jiwa sang pemetik Kacapi, lebih dari itu semua suara yang dihasilkan dari alat musik ini akan menenangkan jiwa para pendengarnya, dan mampu membawa suasana alam Pasundan di tengah-tengah pendengar yang mulai terhanyut dengan buaian nada-nada yang indah dari Kacapi.
3 Angklung.
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di Pulau Jawa bagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran, baik besar maupun kecil. Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan adalahsalendro dan pelog.
Tidak ada petunjuk sejak kapan angklung digunakan, tetapi diduga bentuk primitifnya telah digunakan dalam kultur Neolitikum yang berkembang di Nusantara sampai awal penanggalan modern, sehingga angklung merupakan bagian dari relik pra-Hinduisme dalam kebudayaan Nusantara.Catatan mengenai angklung baru muncul merujuk pada masa Kerajaan Sunda (abad ke-12 sampai abad ke-16). Asal usul terciptanya musik bambu, seperti angklung berdasarkan pandangan hidup masyarakat Sunda yang agraris dengan sumber kehidupan dari padi (pare) sebagai makanan pokoknya. Hal ini melahirkan mitos kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip). Masyarakat Baduy, yang dianggap sebagai sisa-sisa masyarakat Sunda asli, menerapkan angklung sebagai bagian dari ritual mengawali penanaman padi. Permainan angklung gubrag di Jasinga, Bogor, adalah salah satu yang masih hidup sejak lebih dari 400 tahun lampau. Kemunculannya berawal dari ritus padi. Angklung diciptakan dan dimainkan untuk memikat Dewi Sri turun ke bumi agar tanaman padi rakyat tumbuh subur.
Jenis bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras) dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.[rujukan?]
Selanjutnya lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri tersebut disertai dengan pengiring bunyi tabuh yang terbuat dari batang-batang bambu yang dikemas sederhana yang kemudian lahirlah struktur alat musik bambu yang kita kenal sekarang bernama angklung. Demikian pula pada saat pesta panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung. Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya.
Dalam perkembangannya, angklung berkembang dan menyebar ke seantero Jawa, lalu ke Kalimantan dan Sumatera. Pada 1908 tercatat sebuah misi kebudayaan dari Indonesia ke Thailand, antara lain ditandai penyerahan angklung, lalu permainan musik bambu ini pun sempat menyebar di sana.
Bahkan, sejak 1966, Udjo Ngalagena —tokoh angklung yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog, salendro, dan madenda— mulai mengajarkan bagaimana bermain angklung kepada banyak orang dari berbagai komunitas.
4 Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dariangklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.
5 Saron
Saron (atau disebut juga ricik) adalah salah satu instrumen gamelan yang termasuk keluarga balungan.
Dalam satu set gamelan biasanya punya 4 saron, dan kesemuanya memiliki versi pelog dan slendro. Saron menghasilkan nada satu oktaf lebih tinggi daripada demung, dengan ukuran fisik yang lebih kecil. Tabuh saron biasanya terbuat dari kayu, dengan bentuk seperti palu.
11 Warisan Budaya Indonesia Diakui Dunia
SOLO, KOMPAS.com--Organisasi PBB untuk ususan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan budaya, UNESCO, telah mengakui 850 situs di dunia menjadi warisan budaya, termasuk diantaranya 11 situs yang ada di Indonesia.
Ke-850 situs yang diakui menjadi warisan budaya dunia itu terdiri dari 689 mengenai budaya dan 176 alam, kata Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Jero Wacik dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Dirjen Nilai Seni Budaya Dan Film, Ukus Kuswara, pada Kongres Sekretariatan Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) di Solo, Rabu.
Sebanyak 11 situs budaya Indonesia yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia, antara lain mengenai Batik, Wayang, Keris, Angklung, dan situs manusia purba Sangiran.
Mengenai batik, dalam menjaga dan mengembangkannya kedepan tidak ada masalah, karena sekarang tidak hanya kaum tua, generasi muda pun sudah memakai kain batik, sementara keris hanya digunakan sebatas sebagai pelengkap pakaian adat.
"Untuk mempertahankan keris sebagai warisan budaya dunia, memang tidak mudah dan ini menjadi tantangan tersendiri, maka lewat kongres ini harus bisa dijabarkan untuk keris agar tidak saja menjadi pelengkap pakaian adat. Tapi juga bisa sebagai benda seni dan bisa menjadi nilai tambah dan tidak hanya generasi tua, tetapi juga muda yang menyenangi," katanya.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam sambutan tertulis yang dibacakan Staf Ahlinya Bidang Politik Maryanto mengatakan bahwa keris memang pada awalnya sebagai senjata untuk melindungi diri, tetapi sekarang sudah tidak terbatas pada fungsi tersebut saja.
Keris selain untuk senjata melindungi diri, dan simbol status sosial juga sebagai barang seni yang bernila tinggi dan juga sebagai barang sovenir yang bisa mendatangkan keuntungan bagi perajin keris.
"Jadi mengenai pelestarian keris itu apa bila dikelola dengan baik juga bisa mendatangkan kesejateraan bagi masyarakat," katanya.
Kongres SNKI perta yang berlangsung dari 19-21 April 2011 di Solo, itu selain untuk memilih pengurus baru, juga menysun program kerjas.
Bersama kongres SNKI tersebut juga digelar pameran dan bursa keris dan juga diadakan demontrasi membuat keris oleh para empu-empu muda.
Ke-850 situs yang diakui menjadi warisan budaya dunia itu terdiri dari 689 mengenai budaya dan 176 alam, kata Menteri Kebudayaan Dan Pariwisata Jero Wacik dalam sambutan tertulis yang dibacakan oleh Dirjen Nilai Seni Budaya Dan Film, Ukus Kuswara, pada Kongres Sekretariatan Nasional Perkerisan Indonesia (SNKI) di Solo, Rabu.
Sebanyak 11 situs budaya Indonesia yang telah diakui sebagai warisan budaya dunia, antara lain mengenai Batik, Wayang, Keris, Angklung, dan situs manusia purba Sangiran.
Mengenai batik, dalam menjaga dan mengembangkannya kedepan tidak ada masalah, karena sekarang tidak hanya kaum tua, generasi muda pun sudah memakai kain batik, sementara keris hanya digunakan sebatas sebagai pelengkap pakaian adat.
"Untuk mempertahankan keris sebagai warisan budaya dunia, memang tidak mudah dan ini menjadi tantangan tersendiri, maka lewat kongres ini harus bisa dijabarkan untuk keris agar tidak saja menjadi pelengkap pakaian adat. Tapi juga bisa sebagai benda seni dan bisa menjadi nilai tambah dan tidak hanya generasi tua, tetapi juga muda yang menyenangi," katanya.
Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam sambutan tertulis yang dibacakan Staf Ahlinya Bidang Politik Maryanto mengatakan bahwa keris memang pada awalnya sebagai senjata untuk melindungi diri, tetapi sekarang sudah tidak terbatas pada fungsi tersebut saja.
Keris selain untuk senjata melindungi diri, dan simbol status sosial juga sebagai barang seni yang bernila tinggi dan juga sebagai barang sovenir yang bisa mendatangkan keuntungan bagi perajin keris.
"Jadi mengenai pelestarian keris itu apa bila dikelola dengan baik juga bisa mendatangkan kesejateraan bagi masyarakat," katanya.
Kongres SNKI perta yang berlangsung dari 19-21 April 2011 di Solo, itu selain untuk memilih pengurus baru, juga menysun program kerjas.
Bersama kongres SNKI tersebut juga digelar pameran dan bursa keris dan juga diadakan demontrasi membuat keris oleh para empu-empu muda.
Pesona Candi Borobudur
Borobudur merupakan Candi Budha yang memiliki 1460 relief dan 504 stupa Budha di kompleksnya. Borobudur dibangun oleh Raja Samaratungga, salah satu raja kerajaan Mataram Kuno, keturunan Wangsa Syailendra.
Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Berdasarkan prasasti Kayumwungan, seorang Indonesia bernama Hudaya Kandahjaya mengungkapkan bahwa Borobudur adalah sebuah tempat ibadah yang selesai dibangun 26 Mei 824, hampir seratus tahun sejak masa awal dibangun. Nama Borobudur sendiri menurut beberapa orang berarti sebuah gunung yang berteras-teras (budhara), sementara beberapa yang lain mengatakan Borobudur berarti biara yang terletak di tempat tinggi.
Bangunan Borobudur berbentuk punden berundak terdiri dari 10 tingkat. Tingginya 42 meter sebelum direnovasi dan 34,5 meter setelah direnovasi karena tingkat paling bawah digunakan sebagai penahan. Enam tingkat paling bawah berbentuk bujur sangkar dan tiga tingkat di atasnya berbentuk lingkaran dan satu tingkat tertinggi yang berupa stupa Budha yang menghadap ke arah barat. Setiap tingkatan melambangkan tahapan kehidupan manusia. Sesuai mahzab Budha Mahayana, setiap orang yang ingin mencapai tingkat sebagai Budha mesti melalui setiap tingkatan kehidupan tersebut.
Bagian dasar Borobudur, disebut Kamadhatu, melambangkan manusia yang masih terikat nafsu. Empat tingkat di atasnya disebut Rupadhatu melambangkan manusia yang telah dapat membebaskan diri dari nafsu namun masih terikat rupa dan bentuk. Pada tingkat tersebut, patung Budha diletakkan terbuka. Sementara, tiga tingkat di atasnya dimana Budha diletakkan di dalam stupa yang berlubang-lubang disebut Arupadhatu, melambangkan manusia yang telah terbebas dari nafsu, rupa, dan bentuk. Bagian paling atas yang disebut Arupa melambangkan nirwana, tempat Budha bersemayam.
Setiap tingkatan memiliki relief-relief indah yang menunjukkan betapa mahir pembuatnya. Relief itu akan terbaca secara runtut bila anda berjalan searah jarum jam (arah kiri dari pintu masuk candi). Pada reliefnya Borobudur bercerita tentang suatu kisah yang sangat melegenda, yaitu Ramayana. Selain itu, terdapat pula relief yang menggambarkan kondisi masyarakat saat itu. Misalnya, relief tentang aktivitas petani yang mencerminkan tentang kemajuan sistem pertanian saat itu dan relief kapal layar merupakan representasi dari kemajuan pelayaran yang waktu itu berpusat di Bergotta (Semarang).
Langganan:
Postingan (Atom)